Sabtu, 17 Maret 2012

INFORMASI

PENGUMUMAN
NOMOR : 02/AN/III/2014

Om Swastiastu,
Atas asung kertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, utamanya Ida Bhatara Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), dengan ini disampaikan bahwa Upacara Piodalan Saraswati dan Karya Ngusabha Kapat akan dilaksanakan pada :
1.      Upacara Piodalan Saraswati jatuh pada :
Hari/ Tanggal                    : Sabtu, 8 Maret dan 4 Oktober 2014
Pukul                                 : 10.00 wita – 18.00 wita
Tempat                              : Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya)
                            Banjar  Sidayu Nyuhaya, Desa Takmung, Kecamatan  Banjarangkan,
                            Kabupaten Klungkung

2.      Karya Ngusabha Kapat  jatuh pada :
Hari/ Tanggal                    : Rabu s/d Sabtu, 8 s/d 11 Oktober  2014
Pukul                                 : 09.00 wita – selesai
Tempat                              : Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya)
                            Banjar  Sidayu Nyuhaya, Desa Takmung, Kecamatan  Banjarangkan,
                            Kabupaten Klungkung
Dengan ini juga diberitahukan bahwa setiap pelaksanaan Karya Ngusabha Kapat akan dilaksanakan Pawintenan dan Mekutang Bok, bagi yang berkeinginan mengikuti hal tersebut, dimohon memberitahukan kepada Prajuru Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya)  2 minggu sebelum pelaksanaan Karya Ngusabha Kapat.
Demikian untuk maklum, dan semoga segala pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
 
Om Santih, Santih, Santih Om.

Sidayu Nyuhaya,  6 Januari 2014
Prajuru Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya)
Sekretaris,

T   T   D
Drs. I Wayan Parna
HP. 081 2366 9366

Sabtu, 03 Maret 2012

SEJARAH PURA KAWITAN ARYA KEPAKISAN (ARYA NYUH AYA)


  Pura Kawitan terdiri dari kata Pura dan Kawitan. Pura artinya tempat suci Agama Hindu untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan berbagai manifestasinya dan  memuja roh suci leluhur yang sangat dihormati. Kawitan berasal dari kata “Wit” yang artinya Asal Mula. Pura Kawitan yaitu pura tempat suci, yang penyiwinya ditentukan oleh ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis kelahiran (geneologis) seperti Sanggah/Merajan, Paibon, Dadia, dan Kawitan. Begitu juga Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) adalah pura yang penyiwinya atau disungsung oleh Prati Sentana Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), yang ada diseluruh Bali. 
Sebagaimana disebutkan dibeberapa sumber Arya Kepakisan  datang ke Bali pada 1352 M diutus   oleh raja Majapahit  mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan, untuk memadamkan pemberontakan di 39 desa Bali Aga. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan,  mendampingi Dalem Sri Kresna Kepakisan, sebagai raja Samprangan I. Dalem Sri Kresna Kepakisan bersthana (tempat tinggal) di Samprangan. Sedangkan Arya Kepakisan menuju tenggara dan tiba disebuah tempat, disana Beliau menemukan sebuah Kelapa Besar (Nyuh Aya), yang bersinar.  Di tempat itulah dipilih sebagai tempat tinggal  yang kemudian disebut dengan DESA NYUH AYA, untuk mengenang ditemukan Kelapa Besar (Nyuh Aya). Tempat itupun diberi tanda/cihna/ciri dengan Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana, dimana di Jawa Timur banyak dijumpai sebagai pohon yang disebut pohon angsana (Pterocarpus indicus).    Taru Agung tersebut  mempunyai keunikan karena getahnya berwarna Merah Darah, seperti darah manusia. Karena keunikan itulah Taru Agung tersebut dipilih sebagai tanda/cihna/ciri, yang dibawa dari Desa Pakis asal Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya). Disinilah didirikan Merajan oleh Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), dan kemudian menjadi PURA KAWITAN setelah Beliau moksa dan bersthana di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) sekarang.
Taru Agung (Taru Rangsana)
 
Dalam Pamencangah yang tersimpan di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) pada kalimat awal tertulis “Mulaning carma ring Bali Sri Arya Kepakisan, Arya Kediri saking Jayasabha, ari saking Aji Jayabhaya, saking Erlanggia, Putu Kameswara saking Dharma Wangsa Loang Dantawikrama”. 
Kemudian pada bait terakhir tertulis “ Asak aoka Pangeran Nginte, Pangeran Nginte ngeanis Sira Jaya Keta, telas brasta wayang paperangan. Arya Kediri Putrane Jayasabha aputra Arya Kepakisan, iki ngembatang maring Bali, tekep ira pada. Sane kasentane kemajelangu, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Arya Kedutan, malih sira Wang Bang, Tan Kober, Tan Kabur, Tan Mundur, kameokas Arya Kutawaringin sama angiringang Arya Kepakisan. Malih Arya Kepakisan asentane Pangeran Nyuh Aya, masentane pepitu, pinih werde Petandakan, Satra, Pelangan, Akah, Kloping, Cacaran, Anggan. Iki rerajahan Kajang maring Pemerajan Arya Nyuh Aya”.
Kalau dicermati dari kalimat yang terdapat di Pemencangah yang tersimpan di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), bahwa Arya Kepakisan putra dari Arya Kediri, Arya Kediri putra dari Jayasabha, dan Jayasabha adalah Putra Raja Airlangga dari sinilah beliau menyebarkan “ngembatang” keturunanNya, di Bali. Disini pula disebut Pemerajan Nyuh Aya, sesuai kalimat terakhir dari Pemencangah tersebut.
Sesuai konsep Hindu, setiap keluarga yang akan membangun sebuah pekarangan rumah atau tempat tinggal pasti akan dibangun sebuah Parahyangan Pemerajan atau Sanggah.  Begitu pula dengan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) setelah tinggal di Desa Nyuh Aya, beliau juga membangun Pemerajan, yang kini menjadi Pura Kawitan setelah Beliau moksa dan bershtana di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).
Sangat diyakini Desa Nyuhaya sama dengan Banjar Sidayu Nyuhaya, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, karena hingga sekarang Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana yang dipakai tanda, masih berdiri dan tumbuh dengan subur di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya). Disinilah “Wit” atau Asal Mula dari seluruh Prati Sentana Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), yang ada diseluruh Bali.

UNSUR DAN STRUKTUR PURA KAWITAN ARYA KEPAKISAN (ARYA NYUH AYA)

Secara umum areal pura yang ada akan terdiri dari tiga bagian yang disebut dengan “TRI MANDALA” yaitu Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala.  Masing-masing mandala akan dibangun pelinggih yang patut dibangun sesuai dengan fungsi dan kedudukan pelinggih yang bersangkutan.
            Pembagian areal struktur mandala bukan hanya kebetulan patut dibagi tiga, tetapi memiliki tuntunan tata susila bagi setiap Prati Sentana Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), yang akan masuk ataupun bersembahyang ke Pura Kawitan. Tuntunan tata susila adalah menyentuh Tri Kaya Parisuda yaitu “Manacika” berpikir yang baik, “Kayika” berbuat yang baik, “Wacika” berkata yang baik dan selalu mengarah kearah kesucian.
Adapun Unsur dan Struktur Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) adalah sebagai berikut :
1.        Nista Mandala 


PEMELIHARAAN PURA SECARA BERKELANJUTAN

Masyarakat Bali sendiri rupanya sejak dahulu telah demikian menyadari pentingnya pemeliharaan bangunan-bangunan yang fungsi dan statusnya sebagai tempat suci memerlukan pemeliharaan secara “sekala dan niskala” meliputi perawatan, memperbaiki bangunan atau rehab, dan melaksanakan Upacara. Demikian juga halnya dengan Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), tentu pemeliharaannya secara berkelanjutan amat diperlukan, sehingga keberadaanya dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Pengelolaan pura dari manajemen tradisional ke modern perlu dilakukan mengingat sumber daya manusia pendukungnya memiliki keterampilan dan kemampuan untuk itu. Namun demikian, unsur-unsur tradisi selama ini dalam bentuk gotong royong dan ngayah hendaknya tidak sirna.

UPACARA DI PURA KAWITAN ARYA KEPAKISAN (ARYA NYUH AYA)

 
Melakukan Upacara Yadnya (Yajna) langkah yang diyakini sebagai kegiatan keagamaan yang sangat penting, karena Yadnya merupakan salah satu penyangga bumi. Pemeliharaan kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang Yadnya dilakukan oleh umat manusia. Weda mengajarkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan alam ini berdasarkan Yadnya. Karena itu manusia yang bermoral akan merasa berhutang kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Untuk menyampaikan rasa berhutang umat Hindu melakukan Panca Yadnya yakni : Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya.
Hampir setiap pelaksanaan Yadnya khususnya di Bali, umat Hindu selalu menggunakan Upakara (Banten) sebagai sarana memanjatkan puji syukur kehadapan Nya atas segala waranugraha yang dilimpahkan kepada kita semua. Pada umumnya setiap pelaksanaan Yadnya, selalu memiliki rangkaian yang disebut Eedan Karya.

LOKASI PURA KAWITAN ARYA KEPAKISAN (ARYA NYUH AYA)


Jumat, 02 Maret 2012

SUSUNAN PRAJURU

SUSUNAN PRAJURU PURA KAWITAN ARYA KEPAKISAN (ARYA NYUH AYA)
  • KETUA                   : I KETUT SUKA, S.Pd.
  • WAKIL KETUA    : I WAYAN KONTEN
  • SEKRETARIS         : DRS. I WAYAN PARNA
  • BENDAHARA      : I KETUT SUDRA 

Selasa, 21 Februari 2012

SEJARAH SINGKAT ARYA KEPAKISAN (ARYA NYUH AYA)


Setelah Raja Bali yang bergelar Gajah Waktra di Bedahulu, atau disebut juga Sri Astha Sura Ratna Bhumi Banten dapat dikalahkan oleh Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1343 M, maka Gajah Mada menempatkan para arya yang mengiringi beliau di Bali. Patih Kerajaan Bedahulu Ki Pasung Grigis tidak dibunuh dan sebagai imbalannya maka Ki Pasung Grigis diperintahkan untuk menyerang Raja Sumbawa, Dedela Natha. Keduanya terbunuh, karena keduanya mempunyai kesaktian yang seimbang.
Setelah Bali ditaklukkan ternyata masih terjadi pemberontakan dimana-mana akibat ketidakpuasan dari penduduk Bali Aga terhadap pemerintahan para arya yang ditugaskan di Bali.  Atas pemikiran Gajah Mada maka Arya Kepakisan  datang ke Bali pada 1352 M diutus oleh raja Majapahit  mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan, untuk memadamkan pemberontakan di 39 desa Bali Aga. Satu persatu desa Bali Aga yang memberontak dapat ditaklukkan. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan,  mendampingi Dalem Sri Kresna Kepakisan, sebagai raja Samprangan I. Dalem Sri Kresna Kepakisan berstana (tempat tinggal) di Samprangan. Sedangkan Arya Kepakisan menuju tenggara dan tiba disebuah tempat. Di tempat itu Beliau menemukan sebuah Kelapa Besar (Nyuh Aya).  Di tempat itulah dipilih sebagai tempat tinggal  yang kemudian diberi nama dengan DESA NYUH AYA, untuk mengenang ditemukannya Kelapa Besar (Nyuh Aya). Tempat itupun diberi tanda/cihna/ciri dengan Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana, dimana di Jawa Timur banyak dijumpai sebagai pohon yang disebut pohon angsana (Pterocarpus indicus).  Taru Agung tersebut  mempunyai keunikan karena getahnya berwarna Merah Darah, seperti darah manusia.  Karena keunikan itulah Taru Agung tersebut dipilih sebagai tanda/cihna/ciri, yang dibawa dari Desa Pakis asal Arya Kepakisan. Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana tersebut hingga kini masih bisa dijumpai dan tumbuh subur di Jaba Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).
Beberapa sumber yang ada selalu menyatakan Arya Kepakisan yang mendampingi Dalem Sri Kresna Kepakisan pada saat tinggal di Bali bertempat tinggal di Desa Nyuh Aya. Beberapa sumber itu menyatakan :
Dalem Sri Kresna Kepakisan berasal dari keturunan Brahmana, dijadikan Kesatria oleh Baginda Raja Majapahit dan Patih Gajah Mada. Beliau diiringi Arya Kepakisan yang ditunjuk sebagai Patih Agung. Demikianlah adanya sebutan Kepakisan pada kedua nama Beliau yang berasal dari Desa Pakis. Beliau dikukuhkan sebagai Raja dan Mahapatih di Bali karena memang keturunan Ksatria baru yang sebagai penguasa Bali. Itulah dijuluki dengan gelar Kresna Kepakisan. Demikian halnya Arya Kepakisan sebagai Patih Agung hingga kelak keturunan menjabat sebagai Perdana Menteri dan Sekretaris Kerajaan. Selanjutnya Dalem Sri Kresna Kepakisan bersthana di Samprangan dan  Patih Baginda di Nyuhaya, Sehingga terkenal dengan sebutan I Gusti Nyuhaya di masyarakat” (Babad Dalem oleh Drs. Ida Bagus Rai Putra).
Sebuah rangkuman tulisan menyatakan “Pada tahun 1357 Arya Kresna Kepakisan dikirim ke Bali oleh Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan bantuan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan Samprangan, mendampingi Sri Aji Kresna Kepakisan, raja Samprangan I. Beliau tinggal di Puri Nyuh Aya, karenanya beliau disebut juga Pangeran Nyuh Aya atau Ida Dewa Nyuh Aya” (Sumber Babad Bali oleh Yayasan Bali Galang, Denpasar)
Sebuah buku yang bahannya dikumpulkan oleh I Gusti Agung Gede Rai Manguwangsa, dari Puri Kaleran  Selat-Sangeh, Abiansemal-Badung sangat jelas diulas tentang Arya Kepakisan. Dalam buku tersebut tertulis Kesuen-suen sesampune para arya tedun ring Bali, wenten pebalik (pembrontak) ring desa-desa. Ida Bethara Arya Kepakisan sane keutus Sri  Aji Majapahit, nampih Ida Dalem Ktut Sri Kresna Kepakisan ring Bali, pinaka Patih Agung. Ida kairing olih wesya tiga sanak minekadi : Si Tan Kaur, Si Tan Kober, Si Tan Mundur, maka pamucuk ngrejek para pebalik saking kulon ngantos ke wetan desa-desa : Kedampal, Bonyoh, Belong, Ban, Datah. Setedune ring Bali, pengawit Ida mapuri ring Nyuhaya. Nika mawinan Ida mapesengan Pangeran Nyuhaya”.
Pada bait terakhir  dari Pamencangah yang tersimpan di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) tertulis “Asak aoka Pangeran Nginte, Pangeran Nginte ngeanis Sira Jaya Keta. Telas brasta wayang paperangan.  Arya Kediri Putrane Jayasabha aputra Arya Kepakisan, iki ngembatang maring Bali, tekep ira pada. Sane kasentane kemajelangu, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Arya Kedutan, malih sira Wang Bang, Tan Kober, Tan Kabur, Tan Mundur, kameokas Arya Kutawaringin sama angiringang Arya Kepakisan. Malih Arya Kepakisan asentane Pangeran Nyuh Aya, masentane pepitu, pinih werde Petandakan, Satra, Pelangan, Akah, Kloping, Cacaran, Anggan. Iki rerajahan Kajang maring Pemerajan Arya Nyuh Aya”.  
Dari Pamencangah tersebut sangat jelas tersurat dan tersirat bahwa Pemerajan Beliau terdapat di Desa Nyuh Aya, sehingga disebut Pemerajan Arya Nyuh Aya, yang dimaksud tiada lain adalah Pemerajan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), dan untuk mengenang Desa Nyuh Aya, Putra beliau juga diberi nama Pangeran Nyuh Aya, karena lahir di Desa Nyuh Aya.
Kalau disimak dari beberapa uraian diatas, maka jelas ketika pertama kali datang ke Bali Arya Kepakisan menempati sebuah tempat yang diberi nama Desa Nyuh Aya. Oleh karena demikian Beliau  pun bernama Arya Nyuh Aya.
Berdasarkan dresta yang ada secara turun-temurun, yang ditemukan hingga kini ada semacam kepercayaan bila menyebut nama asli para orang tua atau leluhur akan menjadi “Tulah atau Pamali atau Premada”. Kepercayaan itu diajarkan kepada anak-anak dimaksudkan untuk selalu berbakti kepada orang tua. Namun ada kelemahan terhadap keadaan semacam itu, para generasi penerus tidak akan mengenal nama asli orang tuanya. Begitu juga dengan Ida Bhatara Kawitan Arya Kepakisan, para orang tua di Sidayu Nyuhaya sangat pantang menyebut nama asli Beliau, sehingga lama kelamaan nama asli Beliau pun semakin tidak dikenal dikalangan generasi berikutnya dan Beliau  lebih dikenal dengan nama Arya Nyuh Aya.  Bahkan sebutan Beliau pun lebih populer dengan ARYA NYUH AYA

“Arya Kepakisan atau Arya Nyuh Aya mempunyai dua putra yaitu Pangeran Nyuh Aya (lahir di Desa Nyuh Aya) dan Pangeran Made Asak (lahir di Gelgel). Pangeran Nyuh Aya mempunyai putra 7 orang yaitu Arya Petandakan, Arya Satra, Arya Pelangan, Arya Akah, Arya Kloping, Arya Cacaran, Arya Anggan dan seorang putri yang bernama Winiayu Adi, kemudian dipersunting oleh Arya Klapodiayana  (Arya Kebon Tubuh) putra Arya Kutawaringin. Sedangkan Pangeran Made Asak berputra Arya Nginte” sesuai yang tersurat dan tersirat dalam Pamencangah di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).

KEBERADAAN DESA NYUH AYA

Setiba di Bali, Arya Kepakisan yang lebih populer dengan sebutan Arya Nyuh Aya, beliau menuju tenggara, dan menetap disana. Kalau dicari dalam peta sekarang satupun tidak ada secara gamblang menyebutkan dimana Desa Nyuh Aya. Namun yang ada sekarang adalah Banjar Sidayu Nyuh Aya. Sangat diyakini Desa Nyuh Aya sama dengan Banjar Sidayu Nyuhaya, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, karena hingga sekarang Taru Agung atau disebut juga Taru Angsana yang dipakai tanda, masih berdiri dan tumbuh dengan subur di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).

PERUBAHAN NAMA DESA NYUH AYA

Setelah Pemberontakan I Gusti Agung Maruti dapat dipadamkan oleh pasukan Ida Dalem Dimade dengan bantuan raja Karangasem, pasukan Ida Dalem yang masih setia tetap saja mengejar-ngejar keturunan I Gusti Agung Maruti. Salah satunya adalah I Gusti Batulepang yang tinggal di Dukuh. Karena terus dikejar I Gusti Batulepang bersama keluarganya lari dari Dukuh ke utara. Sampailah I Gusti Batulepang di Kamasan. Disana I Gusti Batulepang memohon perlindungan kepada seorang Brahmana. Karena welas asih Sang Brahmana, terlindungilah I Gusti Batulepang untuk sementara. Sulit juga menutupi asap, akhirnya persembunyian I Gusti Batulepang diketahui pasukan Dalem. Atas permintaan Sang Brahmana I Gusti Batulepang dimohon meninggalkan Kamasan. Beliau memberi saran agar I Gusti Batulepang menuju ke arah barat menyusul pelarian I Gusti Agung Maruti. Sedangkan Pemerajan Arya Batulepang diserahkan pemeliharaannya kepada Brahmana tersebut, hingga kini.

PURA PEDHARMAN KAWITAN ARYA KEPAKISAN (ARYA NYUH AYA)

Pada jaman pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (Dalem Sri Semara Kepakisan) yang berstana di Gelgel, Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) pindah ke lingkungan kerajaan Gelgel. Pada waktu pindahnya  Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) ke Gelgel pada Isaka 1302 (1380 M) hanya diikuti oleh Arya Petandakan (putra Pengeran Nyuh Aya). Keturunan beliau lainnya masih tinggal di Desa Nyuh Aya.

KISAH TENTANG MACAN SELEM


Pada pemerintahan Dalem Sri Semara Kepakisan ada seekor Harimau Hitam (Macan Selem) yang sangat ganas dan sakti mengganggu kehidupan penduduk di Blambangan (Banyuwangi). Karena Harimau Hitam (Macan Selem) sangat mengganggu kehidupan penduduk setempat, maka  Pangeran  Nyuh Aya sebagai Patih Agung yang telah mengantikan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), diutus oleh Dalem Sri Semara Kepakisan ke Blambangan (Banyuwangi) untuk membunuh Harimau Hitam (Macan Selem). Beliau menyusul Arya Kubon Tubuh, yang telah lama berangkat dengan tujuan yang sama, untuk membunuh Harimau Hitam (Macan Selem). Pangeran  Nyuh Aya berhasil membunuh Harimau tersebut, kemudian dibawalah kepala Harimau tersebut kehadapan Dalem Sri Semara Kepakisan sebagai bukti.

Tidak berselang lama maka datanglah Arya Kebon Tubuh yang menyatakan juga telah membunuh Harimau tersebut.  Untuk menghindari kesalahpahaman maka  Dalem Sri Semara Kepakisan memberikan anugerah yang sama kepada Pangeran  Nyuh Aya dan  Arya Kebon Tubuh. Anugerah itu berupa Piagam yang berisi catatan hak penghormatan dan penghargaan serta tata cara upakara dan upacara pelaksanaan semasa masih hidup hingga upacara kematian untuk turun-temurun.
Selaku penghargaan pula atas jasa Pangeran  Nyuh Aya dan Arya Kebon Tubuh, maka baginda raja Bali memberikan tugas masing-masing antara lain: kepada Arya Kebon Tubuh, Dalem Sri Smara Kepakisan menyerahkan sebuah pura Kahyangan "Dalem Tugu", dan Pangeran  Nyuh Aya, berkewajiban menyimpan "Aji Purana" dengan catatan setiap upacara piodalan di Pura Dalem Tugu harus diusung ke Dalem Tugu untuk diupacarai. Bila upacara telah selesai, "Aji Purana" itu disimpan kembali oleh Pangeran  Nyuh Aya. Namun karena sesuatu hal, kini Aji Purana tersebut tidak lagi "katuran"  ke Pura Dalem Tugu. Dan Ida Bhatara berupa "Aji Purana" tersebut tersimpan di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya),  di Banjar Sidayu Nyuhaya, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.
Selain itu,  keturunan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) dan Arya Kubon Tubuh bila meninggal dunia, diaben, boleh menggunakan bade tumpang pitu, berhiaskan kapas 9 warna, balai silunglung, kajang kawitan, balai lunjuk tiga undag, petulangan berbentuk harimau hitam (Macan Selem). Benda pusaka yang dihadiahkan kepada beliau berupa sumpitan (tulup) yang digunakan membunuh harimau di Blambangan itu. Sumpitan itu bernama Ki Macan Guguh
.
Diberdayakan oleh Blogger.