Sabtu, 03 Maret 2012

UNSUR DAN STRUKTUR PURA KAWITAN ARYA KEPAKISAN (ARYA NYUH AYA)

Secara umum areal pura yang ada akan terdiri dari tiga bagian yang disebut dengan “TRI MANDALA” yaitu Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala.  Masing-masing mandala akan dibangun pelinggih yang patut dibangun sesuai dengan fungsi dan kedudukan pelinggih yang bersangkutan.
            Pembagian areal struktur mandala bukan hanya kebetulan patut dibagi tiga, tetapi memiliki tuntunan tata susila bagi setiap Prati Sentana Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), yang akan masuk ataupun bersembahyang ke Pura Kawitan. Tuntunan tata susila adalah menyentuh Tri Kaya Parisuda yaitu “Manacika” berpikir yang baik, “Kayika” berbuat yang baik, “Wacika” berkata yang baik dan selalu mengarah kearah kesucian.
Adapun Unsur dan Struktur Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) adalah sebagai berikut :
1.        Nista Mandala 



Nista Mandala adalah sisi bagian barat paling luar areal Pura berupa tanah lapang. Ditempat ini dulu biasa dipakai sebagai aktivitas untuk menyiapkan segala seuatu berkaitan Upacara. Namun tempat ini sekarang tidak dipakai lagi seiring telah dibangunnya Balai Banjar dan sekarang aktivitas tersebut selalu dilakukan di disana. 
2.        Candi Bentar

Memasuki areal Madya Mandala akan melewati Candi Bentar. Candi Bentar merupakan pembatas antara Nista Mandala dengan Madya Mandala. Dibangunnya Candi ini dimaksudkan,  begitu memasuki areal pura, sudah sepatutnya seluruh Prati Sentara Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), untuk melepaskan segala perbuatan, perkataan dan pikiran yang tidak baik dengan memercikan Tirta Penglukatan keseluruh bagian tubuh. Tempat Tirta Penglukatan selalu disediakan di sebelah selatan, pada saat ada karya atau kegiatan upacara sebelum memasuki Candi Bentar.
3.        Pelinggih Pengayatan  Ida Bethara Kawitan Bagi Roh Leluhur

Begitu memasuki kawasan Madya Mandala akan dijumpai sebuah pelinggih sebagai pengayatan Ida Bhatara Kawitan bagi Roh Leluhur yang belum mencapai tingkatan Suci. Karena bagi Roh Leluhur yang belum mencapai tingkatan Suci belum diperkenankan ke Utama Mandala, maka dari pelinggih inilah para Roh Leluhur tersebut memuja   Ida Bhatara Kawitan, terlebih pada waktu Pujawali Saraswati maupun Karya Ngusaba Kapat.
4.        Taru  Agung

Disebelah selatan Pelinggih Pengayatan Ida Bethara Kawitan bagi Roh Leluhur akan dijumpai sebuah pohon besar yang disebut Taru Agung atau Taru Angsana. Taru Agung atau Taru Angsana merupakan pohon yang dipakai tanda oleh Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), tempat dibangunnya Pemerajan ataupun Puri sebagai tempat tinggal. Tempat tersebut sekarang adalah Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya). Taru Agung atau Taru Angsana tersebut  mempunyai keunikan karena getahnya berwarna Merah Darah, seperti darah manusia.  Karena keunikan itulah Taru atau Kayu Angsana tersebut dipilih. Taru Agung atau Taru Angsana tersebut hingga kini masih bisa dijumpai dan tumbuh subur di Jaba Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).
5.        Bale Wantilan
Di bagian utara dari Madya Mandala adalah Bale Wantilan. Ditempat ini kalau ada kegiatan upacara merupakan tempat perangkat Gambelan, dan disini pula para penabuh, menabuh gambelan mengiringi rangkaian upacara, pada saat Piodalan Saraswati maupun Karya Ngusaba Kapat seperti Pementasan Tari Topeng Sidakarya, dan lain-lain.
6.        Apit Lawang

Dikiri kanan Gelung Kuri, hendak masuk ke Utama Mandala ada dua pelinggih yang berbentuk Tugu. Kedua bangunan itu disebut Apit Lawang. Karena keduanya “mengapit lawang” atau jalan keluar masuk dipintu Gelung Kuri. Yang berstana di pelinggih Apit Lawang adalah Sang Nandi Swara dan Sang Maha Kala.
7.        Gelung Kuri dan Arca Dwarapala

Gelung Kuri ini memiliki pintu masuk hanya satu. Pintu ini adalah pintu khusus diperuntukkan bagi Ida Bhtara “Sinamian” apabila Ida Bhatara “katuran” baik pada saat Piodalan Saraswati maupun Karya Ngusaba Kapat.  Sedangkan pintu di sebelah selatan Gelung Kuri untuk  keluar masuk bagi yang terlibat langsung sebagai pelaksana upacara.
Secara “Nyasa” profil yang ada pada Gelung Kuri adalah “Bhoma” yang berarti lahir dari bumi. Bhoma adalah putra dari Dewa Wisnu dan Pertiwi Dewi. Wisnu dalam wujud fisik adalah “Air”, sedangkan Pertiwi dalam wujud fisik adalah “Bhumi (Tanah) “. Kerena pertemuan dari air dan tanah inilah ada yang lahir. Itulah Boma yang tiada lain adalah tumbuh-tumbuhan.
Pada Gelung Kuri selalu ada Bhoma yang menjadi batas antara Madya Mandala dan Utama Mandala. Kalau meniti pada konsep Tri Mandala pada bangunan Pura, Pura adalah merupakan Nyasa sebuah gunung.  Sosok Gunung itupun terdiri dari Tri Mandala. Paling bawah (Nista Mandala) adalah lereng gunung, bagian tengah (Madya Mandala) adalah badan gunung, sedangkan yang paling atas (Utama Mandala) adalah Puncak Gunung.  Dalam kenyataan sebuah sosok gunung di Madya Mandala Gunung ada hutan, ada tumbuh-tumbuhan yang lahir dari tanah dan juga ada pohon-pohon besar. Jadi Bhoma merupakan batas antara badan gunung dengan puncak gunung. Itulah sebabnya Gelung Kuri pada umumnya selalu dipahatkan profil Bhoma, karena dia merupakan “Nyasa” hutan sebagai pembatas badan  gunung dan puncak gunung. Jadi Bhoma adalah pembatas antara Madya Mandala dengan Utama Mandala.
Di depan Gelung Kuri, baik di kiri maupun di kanan akan dapat dilihat Arca Dwarapala lengkap dengan senjata Gada. Dwara berarti pintu dan Pala berarti penjaga. Jadi Arca Dwarapala arca penjaga pintu yang merupakan “prakanggen” Ida Bhatara  Kawitan, ini menunjukkan begitu memasuki Utama Mandala, perilaku kita patut telah mengarah ke arah kesucian. Siapapun pada saat itu telah berusaha menghilangkan segala prilaku yang tidak terpuji. Melainkan harus mengacu tuntunan tata susila yakni Tri Kaya Parisudha yaitu dan Manacika berfikir yang baik, Kayika berbuat yang baik, dan Wacika berkata yang baik.
Memasuki Utama Mandala terdapat pelinggih-pelinggih mulai dari yang berada ditengah areal Pura adalah Pelinggih Pesamuhan, dan searah jarum jam mulai dari barat adalah Bale Piasan, Taksu, Lumbung, Manjangan Seluang, Sanggaran, Meru Tumpang Tiga, Gedong Gede, Kemulan, Petutan, Sapta Petala, Ngerurah, Panggungan dan terakhir adalah Bale Pawedaan. Kemudian akan diuraikan satu persatu fungsi pelinggih tersebut.
8.        Pelinggih Pesamuan

Pelinggih ini berada ditengah-tengah pelataran Utama Mandala Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya). Seperti namanya Pelinggih Pesamuhan, ada juga yang menyebut Pengaruman  adalah tempat Ida Bhatara-Bhatari “Samuha atau Parum” yang disimbulkan dengan wujud “Ardha Nareswari” Purusa-Pradhana atau yang dikenal dengan Rambut Sedana dan juga berfungsi sebagai tempat menghaturkan bhakti persembahan (ayaban Ida Bhatara) pada waktu kegiatan upacara.
9.        Bale Piasan

Di sebelah barat Pelinggih Samuan terdapat Bale Piasan. Sesuai namanya  Bale Piasan ini adalah tempat “ngias” Ida Bhatara Sinamian pada waktu ada kegiatan Upacara atau Karya. Selain itu tempat linggih ancangan Ida Bhatara Dalem, berupa “Ratu Gede Barong dan Ratu Mas Ayu” serta ancangan Ida Bhatara Dalem lainnya,  karena pada saat Karya Ngusaba Purnama Kapat,  Beliau juga “Katuran”. 
10.    Pelinggih Taksu

Kata ”Taksu” berasal dari kata ”aksi” artinya melihat. Melihat itu dengan cara pandang yang multidimensi itulah menyebabkan orang disebut Metaksu. Melihat sesuatu tidak hanya dengan mata fisik saja. Pandangan mata fisik itu dianalisa oleh pandangan pikiran yang cerdas dan dipandang dengan renungan rohani yang mendalam. Cara pandang yang demikian itulah yang akan dapat melihat sesuatu dengan multidimensi. Penglihatan yang multidimensi itulah menyebabkan orang “Metaksu”.
Bangunan ini berbentuk Tugu sebagai sthana Sang Kala Raja, yaitu lambang sumber energi atau kekuatan “Taksu” Pelinggih Taksu ini sebagai pelinggih untuk memohon kehadapan Ida Bhatara Kawitan agar dianugerahi kekuatan spiritual untuk memelihara semangat hidup atau “Metaksu”. 
11.    Lumbung
Bangunan ini berfungsi tempat “Negtegang Beras”  apabila ada upacara Karya Ngusaba Kapat yang dilaksanakan pada Purnama Kapat setiap tahun.  Negtegang Beras sebagai simbol dimulainya pelaksanaan suatu Upacara. Disamping itu fungsi lumbung adalah sebagai tempat untuk menampung atau menyimpan bahan-bahan baku upacara atau persembahan (Punia), para pemedek yang datang sebagai wujud Srada dan Bhakti kehadapan Ida Bhatara Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).
12.    Manjangan Seluang

Pelinggih ini adalah sebuah  gedong  bercirikan atau berisi kepala menjangan, sebagai sthana Bhatara Maspahit dan Mpu Kuturan. Pelinggih ini dibangun sebagai wujud rasa bhakti dan penghormatan atas jasa-jasa Mpu Kuturan yang menata Bali, dimana kedatangan beliau ke Bali dengan “ngelinggihin menjangan”
13.    Pelinggih Sanggaran (Padmasana)

Pelinggih Sanggaran (Padmasana) merupakan sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Melihat  unsur-unsur tatahan hiasannya mengingatkan pada Kisah Pemutaran Mandara Giri di Lautan Susu Ksirarnawa dalam Kitab Adi Parwa, Kitab Pertama dari 18 Parwa (Astadasa Parwa) yang membangun Kisah Mahabharata.
Dikisahkan Para Dewa dan raksasa bersama-sama memutar Gunung Mandara (Mandara Giri), untuk mendapatkan air suci kehidupan “Tirta Amertha” dari dasar lautan susu tersebut. Gunung tersebut dililit oleh Naga Basukih, ekornya dipegang para Dewa sedangkan kepalanya dipegang oleh Para Raksasa. Gunung itu disangga “bedawang” yaitu seekor penyu besar. Diatas singgasana yang disebut Padmasana tersebutlah, bersthana Ida Sang Hyang Widhi, demikian juga disebutkan dalam Wrhaspati Tattwa.
Danghyang Dwijendra yang  juga disebut Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh, seorang yang maha suci telah meletakkan dasar keagamaan yang sangat penting, dengan adanya perwujudan bangunan suci Padmasana tersebut, yang menunjukkan agama Hindu ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
14.    Pelinggih Meru Tumpang Tiga

Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara-bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dari meru adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai sthana para dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi, prasada dan meru.
Meru, didasarkan kepada kutipan yang tercantum pada lontar-lontar warisan leluhur seperti Lontar Andha Bhunana, mengandung makna simbolis atau filsafat sebagai berikut:
“Matang nyan meru mateges, me, ngaran meme, ngaran ibu, ngaran pradana tattwa; muah ru, ngaran guru, ngaran bapa, ngaran purusa tattwa, panunggalannya meru ngaran batur kalawasan petak. Meru ngaran pratiwimbha andha bhuana tumpangnya pawakan patalaning bhuana agung alit”.
Artinya :
"Oleh karena itu meru berasal dari kata me, berarti meme = ibu = pradana tattwa, sedangkan ru berarti guru = bapak = purusa tattwa, sehingga meru berarti batur kelawasan petak (cikal bakal leluhur). Meru berarti lambang atau simbol alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbol tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung dan bhuana alit".
Jadi, berdasarkan keterangan dalam Lontar Andha Bhuana tersebut, meru memiliki dua makna simbolis yaitu meru sebagai simbolisasi dari cikal bakal leluhur dan simbolisasi atau perlambang dari alam semesta.
Oleh karena demikian bangunan Meru Tumpang Tiga yang ada di Utama Mandala, dibangun sebagai linggih atau sthana Ida Bhatara Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya)
15.    Pelinggih Gedong Gede

Sama halnya dengan Pelinggih Meru pada umumnya dan terutama di Bali, selalu ada dua fungsi Pelinggih Gedong yaitu sebagai Atma Pratista dan Dewa Pratista. Atma Pratista itu adalah sebagai media pemujaan Dewa Pitara atau roh suci leluhur. Sedangkan sebagai Dewa Pratista adalah sebagai media untuk memuja Istadewata Ida Sang Hyang Widhi yang di sthanakan di Pura tersebut.  Karena itu pura di Bali umumnya selalu memiliki pelinggih Gedong untuk Atma Pratista atau memuja roh suci yang telah mencapai alam Dewa atau Sidha Dewata dan ada pelinggih untuk Dewa Pratista yaitu pelinggih untuk memuja Istadewata Ida Sang Hyang.
Gedong dibangun pada setiap Pura agar umat selalu dapat berhubungan dengan Sang Pencipta termasuk juga di Pura Kawitan agar prati sentana Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) dapat memuja Beliau setiap saat. Disamping itu fungsi Gedong Gede ini juga sebagai pesimpangan atau penyimpenan Ida Bhatara Kawitan dan Rambut Sedana,  pada saat datang dari melasti di segara, sebelum “katuran” pada Puncak Karya Ngusaba Kapat. 
16.    Pelinggih Kemulan

Pelinggih Kemulan ini dibangun merupakan tempat bersthananya Bhatara Hyang Guru, yang juga merupakan tempat pemujaan atau pengayatan Tri Murti. Trimurti, adalah keyakinan sthana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Utara dan Siwa di Madya. Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Fungsi lainnya,  Kemulan adalah sebagai tempat suci untuk memuja Bhatara-Bhatari Leluhur atau Dewa Pitara, sedangkan kedudukannya sebagai pura kawitan yaitu tempat suci pemujaan dimana para penyungsungnya terikat dalam satu garis keturunan.
17.    Pelinggih Petutan

Ciri utama sebuah Pura disebut Pura Kawitan harus ada pelinggih utama. Pelinggih utama tersebut adalah Meru, Gedong, Kemulan dan Petutan. Dibangunnya Pelinggih Petutan yang merupakan salah satu unsur utama pelinggih pada Pura Kawitan adalah untuk mengenang asal mula “Sang Mula Dadi” yaitu Ida Bhatara Kawitan. Pelinggih Petutan ini patut dibangun sebagai jembatan penghubung “Tuut” kepada asal mula Ida Bhatara Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya). Sebagaimana diketahui bahwa  Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) berasal dari daerah Pakis di Jawa. Pelinggih ini dibangun, itu menandakan beliau selalu ingat akan leluhurnya yang di Jawa. 
18.    Pelinggih Sapta Petala

Sapta Petala menurut konsep Hindu adalah sebuah Nyasa atau lambang dunia bawah (dasar) bumi yang disangga oleh Bedwangnala yang dibelit oleh Naga Antabhoga (Sang Hyang Antabhoga). Bedawangnala berarti air api yang tiada lain adalah Magma Bumi. Yang melingkari magma bumi di ‘nyasa’ kan oleh Naga Antabhoga. Anta berarti tiada habis-habisnya, dan bhoga berarti makanan. Bhoga dalam konsep ini tidak saja berati makanan tetapi mempunyai arti yang lebih luas meliputi Bhoga (makanan), Upabhoga (sandang, perlengkapan busana lainnya), dan Paribhoga (perumahan dan perlengkapannya). Semua itu adalah kebutuhan hidup manusia dan kehidupan ini yang bersumber pada bumi ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tiada habis-habisnya.
 19.    Pelinggih Ngerurah

Bangunan ini berbentuk sebuah Tugu sebagai linggih atau sthana “Para Iringan” Ida Bhatara Kawitan yang dipuja pada waktu subhadewasa upacara dilaksanakan. Pelinggih Ngerurah inipun pada umumnya terdapat di Pura-Pura. Karena Istadewata yang dihadirkan pada saat upacara selalu dengan “iringan atau ajudan”.
20.    Panggungan

Bangunan ini biasanya dibangun di sebelah selatan Utama Mandala menghadap ke utara. Bangunan ini pada umumnya ada disetiap Pura Kawitan, Pura Paibon, Pura Kahyangan Tiga maupun Kahyangan Jagat lainnya. Panggungan ini berfungsi sebagai tempat untuk persembahan bhakti Sor atau Bebangkit pada saat diselenggarakan Upacara.
21.    Bale Pawedaan

Di sebelah barat Panggungan masih di Utama Mandala adalah Bale Pewedaan. Seperti namanya, bale ini berfungsi sebagai tempat “Maweda” bagi sulinggih saat muput Upacara. Selain itu di tempat ini pula dipakai sebagai tempat pertunjukan  Wayang Gedog sebagai bagian dari rangkaian Upacara.
Demikianlah unsur dan struktur Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) ini diuraikan sehingga Prati Sentana Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) dapat memahami, setiap fungsi pelinggih yang ada. Bila telah memahami tentu yang tidak kalah penting adalah membangun dan memelihara secara berkelanjutan, yang dilandasi dengan Srada dan Bhakti.

1 komentar:

  1. Ring daerah dija pura kawitan arya nyuh aya niki ngih?
    Matur suksma

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.